Closure - There is No Chance to Fix It
Pada tulisan kali ini, ini
adalah pengakuanku bahwa betapa aku telah menyadari sepenuhnya kesenjangan yang
begitu jelas di antara kita berdua. Meski sudah memiliki anak darimu, udah
bukan menjadi alasan yang bisa dibenarkan untukku bertahan pada pribadi yang
tidak mengenal dirinya sendiri. Benar dari banyak penggalan kata-kata yang aku
baca, bahwa redflag yang aku abaikan sedari awal akan menjadi alasan yang kuat
untukku berhenti.
Aku ingin berbagi satu bagian saja
yang semakin menunjukkan bahwa Tuhan memang menginginkan aku terhindar dari
rasa sakit yang disebabkan olehmu. Hari ini, kau menunjukkan kepedulianmu dengan
membawa anak-anak ke rumah sakit, setelahnya, kau mengajakku ke suatu tempat
yang dimana kita bisa menghabiskan waktu bersama tanpa gangguan apapun, kau
membelikaku sesuatu yang ingin kumakan, kau membelikanku makan, dan aku ingat
beberapa waktu lalu ketika kau meminta kesempatan untuk memperbaiki semuanya
yang telah hancur, kau kembali hanya membawa harapan, dan kusadari sepenuhnya
bahwa yang kau tawarkan adalah kebahagiaan saat ini dan sementara, bukan
menawarkan masa depan bersama keluarga yang bahagia. Pada awalnya, aku seperti
biasa, melawan instingku sendiri, berperang dengan intuisiku sendiri yang
padahal melindungiku untuk disakiti ke sekian kalinya olehmu dari sikap-sikap
yang tak kau sadari. Aku menyarankanmu untuk pergi ke psikolog, memperiksakan
diri, tapi begitu harinya tiba, kau beralasan bahwa hari ini bukanlah hari yang
tepat untuk memeriksakan dirimu ke psikolog. Itu redflag yang semakin menambah bank dataku
tentang dirimu. Kedua, kau ingin menonton ulang sebuah film rekomendasiku
terkait kehidupan pasangan muda dengan satu anak kecil, tapi ketika di
pertengahan, kau menunjukkan dengan bergumam kalau kau bosan menonton filmnya,
itu redflag kedua yang aku tandai. Ketiga, seketika temanmu menelfon dan aku
samar-samar mendengar percakapan itu, terdengar seperti sebuah bencana karena
temanmu diusir dari kosannya dan dia memintamu untuk menemuinya malam itu juga
yang dimana posisimu sedang bersamaku. Dan kau, kembali menggores hatiku
sedalam itu, seperih itu, semenyakitkan itu hingga aku mengucapkan silahkan
pergi, tinggalkan aku di sini. Dan kau pun beranjak dari kamar meninggalkanku,
hilang di balik pintu kamar dan memilih temanmu. Dengan alasan temanmu sedang
kesulitan dan kau menganggap aku egois.
Aku menenggelamkan wajahku di bantal
ketika kau dengan nada tinggi melemparkan pertanyaan yang sama. Sedangkan aku
diam-diam menangis, melelehkan air mata yang tak kau ketahui sudah seberapa
banyak menghabiskan tangisan dalam diam karena sikapmu yang lama-lama membunuh perasaanku.
Dan aku pun mulai tidak peduli dengan rinci lagi apa yang sedang terjadi dalam
hidupmu. Tiapkali kau bertanya tentang keadaanku, aku hanya diam. Karena aku
lebih hemat energi ketimbang aku harus mengucapkan sepatah atau dua patah kata
yang tidak pernah kau mengerti makna dari ucapan tersebut.
Meski ada rasa sakit yang begitu
menusuk malam ini, maka aku jadikan itu sebagai wadah agar diriku terus menjadi
pribadi yang resilien terhadap rasa sakit karena aku akan menghadapi berbagai
macam rasa sakit di luar sana. Sayangnya, kau bukan orang yang peka karena
kognitifmu tidak mendukungnya, tidak mendukung memerhatikan hal-hal yang seharusnya
kau pedulikan. Dan kau tidak memerhatikan bahwa sikapku sekarang tidak lagi
sebanyak omong dulu, aku lebih banyak diam, tiapkali aku ingin merespon aku hanya
memiilh diam. Karena bukan aku menerima apa yang kau lakukan, melainkan aku
sudah tidak peduli dengan apa yang kau lakukan. Beberapa kali aku menyadari kau
meminta izin kepadaku untuk mentato tubuhmu dengan nama anak-anak, atau hal
lain yang kau sukai tapi aku tidak sukai karena memang bukan bagian dari
hidupku. Aku hanya diam yang kau mungkin salah anggap bila aku menyetujuinya. Padahal
aku tidak peduli sama sekali dengan apapun yang kau lakukan di luar sana.
Ada satu pertanyaan yang masih
terpatri, kau bertanya apa perasaanku Ketika kau sentuh lagi? Kau siap dengan
jawabannya? Aku merasa ketakutan, aku merasa ragu, aku diliputi cemas, kekhawatiran,
ketidakpercaya diri, dan rasa tidak percaya serta mati rasa terhadap sentuhan
yang kau beri. Tapi aku hanya diam dan menjulurkan setengah hati, karena aku
frustasi menjelaskan meski dalam satu kalimat saja, karena aku yakin kau tidak
akan pernah paham dengan apa yang aku ucapkan, apa yang aku pikirkan, dan apa
yang aku rasakan. Aku merasa kecemasan dan ketakutan luar biasa, sebagian diriku
yang lain selalu mengkomplain tindakanku yang tidak selaras dengan logika,
logika banyak mengambil kesimpulan dan membuat persepsi utuh tentangmu dari
fakta-fakta sikap yang kau tunjukkan, namun hati menumpulkan kemampuanku
berlogika, sehingga aku salah dalam mengambil tindakan yang sekarang aku
rasakan sendiri betapa sakitnya bila tindakan yang diambil tidak sinkron dengan
apa yang dirasa atau dipikirkan.
Kemudian, ada satu kalimat yang
kau lontarkan bahwa kau tujuannya ingin hidup bersama-sama dengan anak-anak
tapi kuyakini dengan intuisiku bahwa itu adalah sekedar ucapan, tidak lebih
dari bualan seorang remaja yang tidak pernah tahu perannya apa. Jadi, kerapkali
ada situasi yang tidak bisa kau kontrol, seperti diriku, sepenuhnya tentang
diriku yang tidak mampu kau kendalikan, kau menunjukkan sikap yang berbeda, yang
tidak segaris dengan apa yang kau ucapkan sebelumnya. Jadi, dari situ sudah
cukup jelas untukku dalam mengambil keputusan jikalau nanti ke depannya kau
kembali, aku tidak akan menggubrisnya. Karena aku sudah dipatahkan berkali-kali
dari kemampuanmu memanipulasi.
Dan benar saja, bahwa
kesenjangan yang begitu jauh dapat menimbulkan rasa sakit yang begitu dalam. Masing-masing
dari kita akan selalu merasa kurang karena kita tidak berangkat dari kerangka
pikiran yang sama, dari nilai dan prinsip yang sama. Jadi, apa yang kau lakukan
menurutmu sebenarnya adalah usaha untuk memperbaiki tapi menurutku itu adalah
kewajiban yang memang seharusnya kau jalani, hanya saja, kau belum mampu
memahaminya kalau itu adalah sebuah kewajiban karena kau jauh berada di titik
di bawahku. Kau belum menggapai titik dimana saat ini aku berada. Kemampuan kognitifmu
tidak melebihi diriku sehingga caramu memandang sesuatu dan caraku menyikapi
sesuatu akan berbeda. Dan itu adalah hal-hal yang tidak bisa ditoleransi
seumur hidup.
Beberapa
hari yang lalu, aku masih percaya dengan lirik lagu Bernadya – Kini Mereka Tahu
pada bagian yang “ dan bisa jadi ketika kau kembali aku akan menerimamu lagi.” Dan
ya, aku harus merasakan dari rasa penasaranku itu apa yang aku dapat, ternyata
memang semenyakitkan itu lagi untuk menyelam ke lubang yang sama. Dan Pelajaran
untukku, sudah tau jatuh itu sakit aku tidak seharusnya memilih jatuh lagi,
apalagi ke lubang yang sama, karena aku akan merasakan sakit lagi dan lagi. Dan
malam ini adalah penutupan dari semua kesempatan yang masih ada, meski itu
hanya serpihan dari satu harapan besar yang bisa kau jadikan kesempatan untuk
merubahnya. Namun, aku sudah mendapatkan jawabannya dalam satu malam, jadi aku
tidak perlu membuang-buang waktu yang lama lagi untuk menunggu apakah aku telah
melakukan hal yang benar untuk menermamu kembali. Dan faktanya, malam ini terjawab sudah. Semesta
mengirimkan tanda-tanda yang begitu jelas untukku sadari bahwa kau memang tidak
layak diberikan kesempatan lagi.
Komentar
Posting Komentar