Closure - There is No Chance to Fix It

 

Source: Pinterest

                Pada tulisan kali ini, ini adalah pengakuanku bahwa betapa aku telah menyadari sepenuhnya kesenjangan yang begitu jelas di antara kita berdua. Meski sudah memiliki anak darimu, udah bukan menjadi alasan yang bisa dibenarkan untukku bertahan pada pribadi yang tidak mengenal dirinya sendiri. Benar dari banyak penggalan kata-kata yang aku baca, bahwa redflag yang aku abaikan sedari awal akan menjadi alasan yang kuat untukku berhenti.

                Aku ingin berbagi satu bagian saja yang semakin menunjukkan bahwa Tuhan memang menginginkan aku terhindar dari rasa sakit yang disebabkan olehmu. Hari ini, kau menunjukkan kepedulianmu dengan membawa anak-anak ke rumah sakit, setelahnya, kau mengajakku ke suatu tempat yang dimana kita bisa menghabiskan waktu bersama tanpa gangguan apapun, kau membelikaku sesuatu yang ingin kumakan, kau membelikanku makan, dan aku ingat beberapa waktu lalu ketika kau meminta kesempatan untuk memperbaiki semuanya yang telah hancur, kau kembali hanya membawa harapan, dan kusadari sepenuhnya bahwa yang kau tawarkan adalah kebahagiaan saat ini dan sementara, bukan menawarkan masa depan bersama keluarga yang bahagia. Pada awalnya, aku seperti biasa, melawan instingku sendiri, berperang dengan intuisiku sendiri yang padahal melindungiku untuk disakiti ke sekian kalinya olehmu dari sikap-sikap yang tak kau sadari. Aku menyarankanmu untuk pergi ke psikolog, memperiksakan diri, tapi begitu harinya tiba, kau beralasan bahwa hari ini bukanlah hari yang tepat untuk memeriksakan dirimu ke psikolog. Itu redflag yang semakin menambah bank dataku tentang dirimu. Kedua, kau ingin menonton ulang sebuah film rekomendasiku terkait kehidupan pasangan muda dengan satu anak kecil, tapi ketika di pertengahan, kau menunjukkan dengan bergumam kalau kau bosan menonton filmnya, itu redflag kedua yang aku tandai. Ketiga, seketika temanmu menelfon dan aku samar-samar mendengar percakapan itu, terdengar seperti sebuah bencana karena temanmu diusir dari kosannya dan dia  memintamu untuk menemuinya malam itu juga yang dimana posisimu sedang bersamaku. Dan kau, kembali menggores hatiku sedalam itu, seperih itu, semenyakitkan itu hingga aku mengucapkan silahkan pergi, tinggalkan aku di sini. Dan kau pun beranjak dari kamar meninggalkanku, hilang di balik pintu kamar dan memilih temanmu. Dengan alasan temanmu sedang kesulitan dan kau menganggap aku egois.

                Aku menenggelamkan wajahku di bantal ketika kau dengan nada tinggi melemparkan pertanyaan yang sama. Sedangkan aku diam-diam menangis, melelehkan air mata yang tak kau ketahui sudah seberapa banyak menghabiskan tangisan dalam diam karena sikapmu yang lama-lama membunuh perasaanku. Dan aku pun mulai tidak peduli dengan rinci lagi apa yang sedang terjadi dalam hidupmu. Tiapkali kau bertanya tentang keadaanku, aku hanya diam. Karena aku lebih hemat energi ketimbang aku harus mengucapkan sepatah atau dua patah kata yang tidak pernah kau mengerti makna dari ucapan tersebut.

                Meski ada rasa sakit yang begitu menusuk malam ini, maka aku jadikan itu sebagai wadah agar diriku terus menjadi pribadi yang resilien terhadap rasa sakit karena aku akan menghadapi berbagai macam rasa sakit di luar sana. Sayangnya, kau bukan orang yang peka karena kognitifmu tidak mendukungnya, tidak mendukung memerhatikan hal-hal yang seharusnya kau pedulikan. Dan kau tidak memerhatikan bahwa sikapku sekarang tidak lagi sebanyak omong dulu, aku lebih banyak diam, tiapkali aku ingin merespon aku hanya memiilh diam. Karena bukan aku menerima apa yang kau lakukan, melainkan aku sudah tidak peduli dengan apa yang kau lakukan. Beberapa kali aku menyadari kau meminta izin kepadaku untuk mentato tubuhmu dengan nama anak-anak, atau hal lain yang kau sukai tapi aku tidak sukai karena memang bukan bagian dari hidupku. Aku hanya diam yang kau mungkin salah anggap bila aku menyetujuinya. Padahal aku tidak peduli sama sekali dengan apapun yang kau lakukan di luar sana.

                Ada satu pertanyaan yang masih terpatri, kau bertanya apa perasaanku Ketika kau sentuh lagi? Kau siap dengan jawabannya? Aku merasa ketakutan, aku merasa ragu, aku diliputi cemas, kekhawatiran, ketidakpercaya diri, dan rasa tidak percaya serta mati rasa terhadap sentuhan yang kau beri. Tapi aku hanya diam dan menjulurkan setengah hati, karena aku frustasi menjelaskan meski dalam satu kalimat saja, karena aku yakin kau tidak akan pernah paham dengan apa yang aku ucapkan, apa yang aku pikirkan, dan apa yang aku rasakan. Aku merasa kecemasan dan ketakutan luar biasa, sebagian diriku yang lain selalu mengkomplain tindakanku yang tidak selaras dengan logika, logika banyak mengambil kesimpulan dan membuat persepsi utuh tentangmu dari fakta-fakta sikap yang kau tunjukkan, namun hati menumpulkan kemampuanku berlogika, sehingga aku salah dalam mengambil tindakan yang sekarang aku rasakan sendiri betapa sakitnya bila tindakan yang diambil tidak sinkron dengan apa yang dirasa atau dipikirkan.

                Kemudian, ada satu kalimat yang kau lontarkan bahwa kau tujuannya ingin hidup bersama-sama dengan anak-anak tapi kuyakini dengan intuisiku bahwa itu adalah sekedar ucapan, tidak lebih dari bualan seorang remaja yang tidak pernah tahu perannya apa. Jadi, kerapkali ada situasi yang tidak bisa kau kontrol, seperti diriku, sepenuhnya tentang diriku yang tidak mampu kau kendalikan, kau menunjukkan sikap yang berbeda, yang tidak segaris dengan apa yang kau ucapkan sebelumnya. Jadi, dari situ sudah cukup jelas untukku dalam mengambil keputusan jikalau nanti ke depannya kau kembali, aku tidak akan menggubrisnya. Karena aku sudah dipatahkan berkali-kali dari kemampuanmu memanipulasi.

                Dan benar saja, bahwa kesenjangan yang begitu jauh dapat menimbulkan rasa sakit yang begitu dalam. Masing-masing dari kita akan selalu merasa kurang karena kita tidak berangkat dari kerangka pikiran yang sama, dari nilai dan prinsip yang sama. Jadi, apa yang kau lakukan menurutmu sebenarnya adalah usaha untuk memperbaiki tapi menurutku itu adalah kewajiban yang memang seharusnya kau jalani, hanya saja, kau belum mampu memahaminya kalau itu adalah sebuah kewajiban karena kau jauh berada di titik di bawahku. Kau belum menggapai titik dimana saat ini aku berada. Kemampuan kognitifmu tidak melebihi diriku sehingga caramu memandang sesuatu dan caraku menyikapi sesuatu akan berbeda. Dan itu adalah hal-hal yang tidak bisa ditoleransi seumur hidup.

                Beberapa hari yang lalu, aku masih percaya dengan lirik lagu Bernadya – Kini Mereka Tahu pada bagian yang “ dan bisa jadi ketika kau kembali aku akan menerimamu lagi.” Dan ya, aku harus merasakan dari rasa penasaranku itu apa yang aku dapat, ternyata memang semenyakitkan itu lagi untuk menyelam ke lubang yang sama. Dan Pelajaran untukku, sudah tau jatuh itu sakit aku tidak seharusnya memilih jatuh lagi, apalagi ke lubang yang sama, karena aku akan merasakan sakit lagi dan lagi. Dan malam ini adalah penutupan dari semua kesempatan yang masih ada, meski itu hanya serpihan dari satu harapan besar yang bisa kau jadikan kesempatan untuk merubahnya. Namun, aku sudah mendapatkan jawabannya dalam satu malam, jadi aku tidak perlu membuang-buang waktu yang lama lagi untuk menunggu apakah aku telah melakukan hal yang benar untuk menermamu kembali. Dan faktanya, malam ini terjawab sudah. Semesta mengirimkan tanda-tanda yang begitu jelas untukku sadari bahwa kau memang tidak layak diberikan kesempatan lagi.

 

Komentar

Postingan Populer