Justru dengan Berpisah Membuat Anak-anak Merasa Bahagia
source; Pinterest
Ketika
kita memutuskan berpisah, aku cukup banyak mendengar kalimat yang menyayangkan mengapa
kita berpisah terlalu dini ketika masih memiliki anak-anak kecil di bawah tiga tahun.
Banyak juga yang menanggapi bahwa anak-anak masih membutuhkan sosok kedua orang
tua yang utuh, dalam kondisiku, anak-anak masih membutuhkan ayahnya.
Namun, aku segera menganalisa keyakinan tersebut. Apakah relevan dengan
kesejahteraan mental anakku. Dengan latar belakangku seorang mahasisiwi psikologi,
meski aku tidak sempurna dan belum menjadi sosok ibu yang ideal terlebih secara
mental karena aku juga masih berdamai dan belajar menerima diri sendiri. Aku banyak
memperoleh pengetahuan di mata kuliah psikologi perkembangan manusia. Bagaimana
lingkungan cukup memberi banyak pengaruh untuk perkembangan psiko-sosial anak. Dan
lingkungan berisikan sekumpulan individu dengan persepsi, perasaan, dan
tindakan mereka. Maka karena itu, jika berada di lingkungan yang tidak sehat
secara mental, maka dapat memberikan dampak negatif ke psiko-sosial anak secara
jangka panjang. Dan sederhananya, lingkungan yang tidak sehat disebabkan
individu yang tidak sehat di dalamnya.
Lingkungan
yang paling dekat dan intens dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan anak
adalah keluarga. Keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Posisiku
di sini sebagai ibu, dan kau sebagai ayah. Namun dengan adanya posisi
tersebut tidak menjamin masing-masing dari kita memaknai secara sadar
peran-peran yang kita pikul.
Selama 2 tahun aku mencoba bertahan
di tengah badai yang begitu merasuk ke dalam jiwaku, badai emosional yang
setiap hari aku berharap segera berakhir. Badai yang membuatku buta akan
kesadaranku sendiri, badai yang melenyapkan potensiku dan meragukan keyakinanku.
Sebuah badai yang kau ciptakan tanpa kesadaranmu. Dan tanpa usahamu untuk
sadar.
Bagiku, dari apa yang aku ketahui
dengan referensi banyak sumber bacaan, dari buku, dari kelas, dari kursus, dan
dari jurnal-jurnal ilmiah psikologi, ada satu kesimpulan yang menjadi prinsipku
dalam menjalani peran sebagai orang tua. Adalah meyakini bahwa kehadiran fisik
adalah kontribusi paling dasar yang harus diberikan oleh orang tua kepada anak.
Itu masih berada di level permukaan untuk membuat anak merasakan kehadiran
orang tua secara fisik. Tetapi apa maknanya jika kehadiran fisik tidak ikut diimbangi
kontribusi yang melibatkan kesadaran penuh atas peran yang dipikul, tidak
berkontribusi secara kognitif, sosial dan kesejahteraan psikologis. Dan bagiku
juga, menafkahi saja tidak cukup. Bukan karena aku tidak bersyukur, aku sangat
bersyukur ketika kau dengan penuh kesadaran ada tanggung jawab finansial. Namun
untuk perkembangan anak-anak jangka panjang, aku tidak menemukan keinginanmu
untuk bertanggungjawab secara moral.
Selama bersamamu, anak-anak
diperlihatkan bagaimana sosok ayah memanipulasi sang ibu untuk terus merasa
bersalah, merasa kurang, dan pada kondisi tertentu seorang ibu yaitu aku
membagikan cerita kepadamu bahwa aku memiliki kerentanan mental berupa lebih
mudah untuk mengalami gejala depresi tetapi kau memaknainya sebagai hal yang
berlebihan, sehingga anak-anak seperti diajarkan untuk menekan apa yang dirasakan
sebenarnya, anak-anakku diajarkan untuk tidak mewajari sesuatu hal yang memang
seharusnya diketahui. Aku jadi
bertanya, apakah memang latar belakang sangat menentukan bagaimana kita
mempersepsikan sesuatu? Dan aku jadi bertanya-tanya, apakah memang akan bekerja
dengan baik jika kedua sosok yang berbeda kehidupannya, berbeda kerangka
berpikirnya akan bisa saling melengkapi satu sama lain? Hingga pada akhirnya
aku mendapatkan insight bahwa memang ada perbedaan-perbedaan yang dapat ditoleransi,
namun jika perbedaan itu adalah hal-hal yang prinsipal atau sangat mendasar,
itu sangat sulit untuk ditoleransi seumur hidup. Kedua, jika kedua pihak memiliki
kemampuan dan keinginan untuk terus saling berkembang, untuk maju, untuk
bertumbuh, maka perbedaan itu dapat diterima perlahan-lahan. Namun kondisi kita
berbeda, jarak di antara kita terlalu jauh, kau tidak memiliki kemampuan untuk
ada inisiatif belajar, sehingga kognitifmu tidak terupdate dengan ilmu
parenting yang dapat memengaruhi bagaimana kau bersikap ke anak-anakmu.
Aku
merasa dengan kesadaran sepenuhnya bahwa memang meskipun kita berusaha atau
lebih tepatnya aku merasa kita memaksakan untuk bersama lagi, tidak akan
berdampak baik kepada anak-anak. Justru berdampak buruk dan jangka panjang terhadap
emosi mereka. Karena kerapkali anak-anak menyaksikanku menangis diam-diam. Mereka
akan bereaksi sesuai dengan apa yang aku rasakan, mereka adalah peniru ulung
dari sikap ketidaksadaran yang dicerminkan oleh orang tuanya. Dan aku berkeyakinan
bahwa kau tidak memiliki pemahaman atas bagaimana suami istri seharusnya,
bagaimana dampak psikologis seorang ibu jika perasaannya selalu dikecilkan, selalu
diabaikan, selalu dianggap berlebihan dan jika ada suatu tindakan yang
menurutmu tidak sesuai, maka kau akan melabeliku sebagai ibu yang buruk. Bagaimana
bisa seumur hidup aku menahan semua itu?
Maka,
berpisah adalah jalan terbaik yang bisa kita ambil, bukan hanya untuk keduanya.
Melainkan masa depan anak-anak. Mereka bisa merasakan emosi yang kita rasa meski tidak terucapkan. Dan daripada
kita bertahan dengan dalih alasan untuk mereka, maka yang mereka dapatkan hanya
kehadiran secara fisik, mereka tidak mendapatkan didikan ideal dari kekompakkan
kedua orang tuanya karena gap yang begitu jauh antara tingkat kognitifmu dan
kognitifku. Aku sebagai seorang ibu yang melahirkan keduanya terdorong untuk
mengambil penuh keputusan secara sadar untuk berpisah. Karena aku ingin
menyelamatkan masa depan anak-anakku yang kelak aku akan lebih selektif dalam
memilih sosok ayah untuk mereka.
Jadi,
perpisahan antara kita adalah jalan terbaik untuk membuat masa depan mereka
lebih sejahtera, lebih bahagia, dan tumbuh lebih ideal. Meski aku harus menebusnya
dengan rasa sakit yang bertubi=tubi, hari-hari yang dilalui dengan penerimaan
diri dan pembasuhan luka.
Komentar
Posting Komentar