Orang Tua Untuk Diriku Sendiri

 sumber gambar: orami

Di blog kali ini, aku ingin sedikit membagikan pengalaman yang berkaitan dengan tema "inner child." Pernah dengar inner child? Yang berarti anak kecil di dalam diri. 

Aku ingin membagikan perjalanan mengenai ini singkat saja. 

Sedih rasanya dewasa ini mengetahui bahwa kesadaran akan kesehatan mental di zaman orang tua kita kurang begitu muncul dan disadari. Dampaknya adalah kepada pola asuh yang diterapkan kepada anak-anak mereka, yaitu kita. Kita yang sekarang ini cukup banyak berjibaku dengan kondisi mental kita sendiri. Entah kondisi mental kita yang ringan atau sudah memasuki taraf yang berat, ditandai oleh melukai diri atau keinginan untuk bunuh diri. 

Akumulasi pengalaman-pengalaman traumatis di masa yang lalu membentuk kecenderungan kita dalam merasa dan memahami diri sendiri di masa kini. Masa-masa yang paling menyakitkan adalah masa ketika kita baru mengetahui bahwa sebenernya kita ga baik-baik aja. Aku pun sama halnya, ketika aku baru mengetahui, rasanya begitu menyakitkan, tidak menerima dan menuntut orang-orang yang berkontribusi terhadap rasa sakit di dalam diriku untuk bertanggung jawab memulihkannya. 

Fase ini cukup panjang, tiap orang berbeda-beda. Selama perjalanan itu, aku sendiri mencoba menggali informasi yang setidaknya bisa menemukan jawaban untuk pertanyaanku mengenai diri sendiri. Mengapa rasanya begitu sakit ketika ada hal yang disebut sebagai pemicu? 

Dan di fase inilah kita banyak belajar. Dari yang baru tahu, sampai akhirnya berkomitmen untuk terus belajar menemukan jawaban untuk diri sendiri. Karena keinginan kita cuman satu, sembuh. Tapi pertanyaan berikutnya muncul di kepalaku, sembuh yang kuinginkan sembuh yang bagaimana? Apakah sembuh yang kumaksud adalah tidak mendapat perilaku buruk sama sekali dari lingkungan sekitar? Apakah aku menginginkan orang tuaku berubah menjadi lebih baik dan paham akan ilmu parenting masa kini? Apakah ada indikator tertentu yang aku inginkan untuk mencapai esensi "sembuh" yang aku mau? 

Seiring pertanyaan itu timbul, tak letih-letih aku mengedukasi diri sendiri. Menggali ilmu psikologi, menyelaminya lebih dalam dan menjadikan semua itu sebagai alat untuk menemukan diriku yang sejati. Butuh waktu yang cukup lama. 

Setelah aku mengetahui, belajar dan mulai menerima, ada tugas lagi yang harus kulakukan sepanjang waktu, yaitu bagaimana mengurus diriku agar tidak terlalu jauh ketika jatuh atau dihadapkan situasi yang melukai, menekan, menimbulkan rasa berontak si anak kecil dalam diri ini. Bagaimana aku harus merawat agar responnya masih bisa rasional, tapi juga berperasaan. Bukan merawat luka yang pernah ada, melainkan merawatnya dengan kasih sayang dan penuh sabar bagaimana mengendalikan respon terhadap pemicu yang ada. 

Seperti halnya pagi ini, setelah aku memakan biskuit pendamping bumil kepalaku berat sekali, aku tertidur. Terbangun ketika ayahku mengantar makanan sekaligus memberikan berita buruk yang menjadi pemicu meski bagiku nilai pemicunya rendah, artinya tidak begitu membuat inner childku memberontak sekali. Selepas ayahku pulang, air mataku menangis. Aku merasa sedih yang begitu hebat. Pikiran-pikiran yang selama ini kucoba netralkan, muncul ke permukaan dengan rimanya sendiri seolah membentuk rajutan yang berantakan. Ia terbang kemana-mana, bahkan ke hal penting yang kulindungi. Namun karena aku sudah melewati beberapa fase penting untuk menuju fase bagaimana aku mengendalikan inner childku, dengan sebagian kesadaran sebagian lagi masih dipengaruhi luka-luka itu, aku berserah diri. Kubiarkan diriku menangis tapi tetap kupegang kendali diriku agar tidak terbawa hanyut kesedihan yang mendalam. 

Aku melepas ponselku, kugeletakan sebentar. Aku menidurkan diriku, sambil menatap langit-langit dengan mata yang kuimajinasikan kalau aku melihat diriku yang kecil ini sedang menangis. Sambil air mata mengucur, bibirku gemetar mengucap,

"Bantulah aku berhenti memikirkan pikiran yang tiada berujung ya. Rasa sakit dan lelahmu itu ada, aku bisa merasakannya. Namun, bantulah untuk mengerti di keadaan sekarang ini dengan berhenti memikirkan hal-hal yang semakin menyakiti dirimu. Kita sudah berada di titik ini, dengan melalui begitu banyaknya tangisan, luka-luka yang memborok, jatuh bangun jatuh bangun lagi. Aku mencintaimu, peduli terhadap lukamu."

Kemudian tangisanku semakin pecah. Di sini aku belajar dan semakin terasah rasa kepekaan untuk memisahkan mana sedih yang benar aku rasakan dan beralasan, mana sedih yang muncul tiba-tiba tanpa alasan. Ketenangan perlahan-lahan merengkuh diriku. 

Dengan penuh kesadaran sudah kuambil kendali atas diriku, si anak kecil ini pun sudah mereda meski tidak bisa kupungkiri masih ada sesak yang terasa. Setelah itu aku memberikan afirmasi positif untuk diriku sendiri. Menyadari bahwa ke depannya aku bukan hanya segera menjadi orang tua untuk anakku nanti, melainkan juga orang tua untuk diriku sendiri. Aku pun menyadari bahwa rasanya kalimat tersebut menimbulkan kecemasan, kekhawatiran, dan pertanyaan apakah aku sanggup. Tetapi aku ingin menumbuhkan pikiran positif, percaya kepada Tuhan bahwa apapun kondisinya, diriku sebenarnya meyakini bahwa ia sanggup untuk melewatinya. 

Untuk mendamaikan si kecil dalam diri tidak cukup mengandalkan ilmu dan pengetahuan, melainkan butuh tambahan kemampuan dalam bersabar, menyemai kasih, dan kelembutan dalam merawatnya.

Komentar

Postingan Populer