Berstatus Baru Menjadi Seorang Ibu : Sebuah Kebanggaan
Mengapa merasa bangga menjadi seorang ibu? Ya walaupun masih sebatas "calon" ibu, beberapa hari lagi akan resmi menjadi "ibu." Tetapi sebelum menjadi ibu saja rasanya sudah banyak sekali pelajaran yang di dapat. Pelajaran yang tiada henti perlu dimaknai berkali-kali, perlu diulang berkali-kali, perlu dipraktikan berkali-kali.
Aku ingin membagikan beberapa perasaan juga pemikiran terkait ini. Awal-awal tau mengenai kehamilanku, aku tidak pernah menyangka akan secepat ini. Sebenarnya sempat berdoa begitu kuat agar di usia 19 tahun aku menikah, tapi poin yang kumaksud bukan berpasangan, melainkan memiliki anak. Bagiku, kehamilanku yang jauh di luar rencana ini menjadi berkah, ya, menjadi berkah, meski banyak pro-kontra, namun aku melihatnya seperti berkah yang terus-menerus mengalir. Mengapa demikian? Karena dari kehamilan ini aku mempersiapkan diri kelak ke depannya menjadi seorang ibu, dimana anak-anak hanya bisa bergantung kepada ibunya. Apalagi di kondisiku ke depannya aku berperan ganda, menjadi ibu sekaligus ayah untuk anak tercintaku.
Perjalanan selama sembilan bulan ini menghadirkan ku banyak pengalaman baru dan perasaan-perasaan baru. Muncul makna baru di dalam hidupku, makin jelas tujuan ke depanku, makin kuat keinginanku, makin tertata hidupku, dan yang paling aku syukuri, anakku tercinta membantu diriku semakin mengenali diriku lebih jauh lagi. Banyak perubahan-perubahan yang terjadi, khususnya pada kondisi mental yang memengaruhi emosional ku. Cenderung stabil dan mulai dapat mengontrol hal-hal yang ada di dalam kendaliku. Semakin juga aku pandai untuk tidak menggantungi harapan kepada manusia sekalipun itu ke orang yang sangat aku sayangi. Meskipun demikian, tidak menjadikanku lemah, tidak menghadirkan perasaan rendah diri. Justru dari kecemasan dan ketakutan ke depannya, aku mengolah itu menjadi sebuah bahan bakar agar aku terus berkembang, beradaptasi dan lebih belajar lagi mengelola emosi.
Aku sungguh-sungguh bersyukur Tuhan menghadirkan anakku ke dalam hidup yang penuh dengan duka dan luka. Namun ternyata, Tuhan memberikan penawar dari semua jenis rasa sakit yang kurasakan melalui anakku. Anugerah dalam hidupku. Karunia untukku. Tak henti-hentinya aku mensyukuri anakku.
Selain hal yang kusebutkan di atas, aku pun makin pandai menempatkan posisi, khususnya menempatkan emosiku. Menarik ulur emosi pun ada baiknya. Jadi lebih tau kapan waktu untuk bersenandika dengan diri sendiri, kapan waktu berbagi kesah dengan orang tercinta. Pun demikian memengaruhi lingkungan sosialku, makin tajam instingku untuk menilai mana orang-orang yang layak masuk ke dalam lingkungan terdekatku, mana yang cukup mengenalku sebatas di sosial media atau sebatas yang mereka tahu. Rasanya, memiliki beberapa teman dekat yang kuat sekali emosionalnya saja sudah sangat membantu untuk menjaga mental tetap sehat dan stabil.
Fase baru ini menghadirkan rasa kebanggaan untuk diriku, tentu poinnya bukan bangga atas apa yang sudah aku lakukan. Melainkan bangga dengan diri sendiri bahwa aku sedikit demi sedikit mampu memulihkan jiwaku yang rusak. Bangga bahwa ternyata aku bisa merubah diriku lebih baik untuk anakku. Bangga bahwa ternyata cinta tak bersyarat begitu kuatnya hingga mengubah partikel kecil dalam kehidupan seseorang.
Tentu, rasa kebanggaan ini dibarengi dengan segala jenis nilai moral lainnya, bertanggung jawab, dapat diandalkan, menempatkan diri, dan sebagainya. Aku belajar mengintegrasikan juga fleksibel dalam memakai nilai moral di kondisi tertentu agar tercipta kestabilitasan dalam tingkat terkecil, lingkungan terdekat. Dengan begitu, tujuan-tujuan besarpun semakin mudah didekati karena dibangun dari hal-hal kecil.
Teruntuk anakku nanti, jagoan pertamaku, terima kasih telah memberikan kesempatan kepada mama untuk mengandung dirimu. Terima kasih telah menjadi berkah, anugrah, juga karunia untuk hidupku. Mama mencintaimu sepersekian detik, tak terhingga, dan tak terdefinisikan.
Komentar
Posting Komentar